Nuffnang

Ahad, 4 Ogos 2013

Fina af - Google Blog Search

Fina af - Google Blog Search


Rancangan RC kedepan... | <b>Fina Af</b>&#39;idatussofa

Posted: 16 Jul 2013 07:05 PM PDT

Rancangan Resource Centre ( Lumbung Sumber Daya) oleh Mas Alvian

 Nampaknya Pak Walikota mulai terketuk untuk memperhatikan model pendidikan informal seperti Komunitas Qaryah Thayyibah. Rencana pembangunan RC pada 2014, sepertinya akan terealisasikan. Berharap semua berjalan lancar, termasuk gerakan Jamaah produksinya yang akan mendapat perhatian dari Gubernur Jateng

Cita-cita pemerataan hak pendidikan serta hak bekerja mandiri secara layak mudah-mudahan terwujud dan berkah..


Embun Aksara (<b>Fina Af</b>&#39;idatussofa): Air mata dalam kanvas 2

Posted: 21 Jul 2013 06:23 AM PDT



Sastra Indonesia makin menggeliat. Meski toko-toko buku ternama tetap saja meletakkan novel-novel terjemahan --taruh kata seperti trilogi Twilight Meyer atau tetralogi The Da Vinci Code Dan Nrown-- di deretan buku Must Read, namun karya-karya sastra lokal juga tak kalah berjumawa. Mereka berserak dan begitu menggoda untuk dibaca, dikupas, dan di apresiasi.

Begitu banyak genre yang ada sehingga para kritikus dan pemerhati sastra kebingungan untuk memberi nama angkatan karya-karya kontemporer ini, sebagaimana kita pernah mendengar ada generasi pujangga lama dan pujangga baru. Beragam rasa dan karakter membuatnya sulit untuk diklasifikasi. Buku cerita, dongeng, kumpulan cerpen, novel, dalam banyak wujud : metro pop, teentlint, chicklit atau varians sastra Islami (istilah yang hingga kini masih juga debatable), termasuk teenlit pesantren didalamnya, sungguh benar-benar memanjakan para maniak buku (di luar bahasan harga, tentunya).

Karena itu, meski semua karya fiksi teorinya disebut karya sastra, tapi buat kebutuhan standar pribadi, bagi saya tidak semua buku layak disebut sebagai karya sastra.

Artinya juga, tidak semua buku layak masuk antrian dalam daftar baca.

Satu kritik mendasar tercampakkannya sebuah buku dari kategori karya sastra adalah terlalu dominannya bahasa lisan yang ditulis menjadi bahasa tulisan (seperi banyak yang ditemui dalam teenlit). Menyimak dialog-dialognya, bagi saya, itu laksana menonton sinetron, sangat...sangat melelahkan alias bikin boring. Tak ada majas, ungkapan, peribahasa, kalimat bijak, pantun, rima, dan kalimat sejenisnya yang bisa bikin kita bangga sebagai manusia; makhluk yang halus budi pekertinya. Selaras dengan visi sastra sesunguhnya: menghidupkan hati mengasah jiwa. Itu belum tinjauan jalan cerita dan ending yang kebanyakan identik dan terlalu sederhana, atau jika tidak malah sebaliknya, tak bisa dirunut logika. Bueh, tape deh... (hihi, padahal kalo disuruh nulis ya belum tentu bisa juga)

***
Adalah sebuah kehormatan, menjadi proof reader meski tak resmi, alias sekedar dimintai pendapat dan kritikan dari seorang penulis muda berbakat (semoga kelak menjadi sastrawan besar), Fina Af'idatussofa. Ini adalah novel ke sekian yang ia tulis. Novel-novel sebelumnya telah diterbitkan, baik secara indie melalui penerbit di sekolahnya (pustaka Q-Tha) ataupun penerbit publik (Matapena-Yogya).

"Air Mata dalam Kanvas" yang ditulisnya, masih setia bercerita tentang romansa di seputar dunia pesantren. Tapi mungkin ini adalah novel yang paling serius ditulisnya. Berdasarkan penuturan penulisnya, ia menulisnya dalam kurun waktu satu tahun. Artinya, jika tak cukup serius dan sabar, mustahil novel ini akan menemukan endingnya. Dengan begitu banyak peristiwa kehidupan yang mungkin dialami dalam kurun waktu setahun, rampungnya novel ini, terlebih dalam statusnya sebagai remaja kelas XII, adalah sebuah prestasi tersendiri.
Semoga saja kritik atau lebih tepatnya catatan dari (sekedar) penikmat sastra ini, menjadi penyempurna dari prestasi menulis itu.

Ide Pokok NovelIde pokok "Air Mata dalam Kanvas" adalah soal MANAJEMEN CINTA. Hal yang amat gurih buat remaja. Fina mencoba menyodorkan cara alternatif yang lebih baik (lebih sesuai syara') ketimbang dengan 'jadian' sebagai resume lazim dua hati muda yang dirundung cinta. Apa yang terpendam dalam hati mungkin suatu saat harus terungkap. Konsekuensi dari "inniy uhibbuki fillahi ta'ala" (aku mencintaimu karena Allah) tak harus selalu berujung pada pengikatan komitmen, yang dalam dunia remaja disebut : pacaran. Namun, lebih hakiki dari itu adalah mengembalikannya arti cinta itu kepada makna sejatinya : Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Alur Cerita

Merancang alur cerita novel setebal 250 halaman tidaklah mudah. Itu sebabnya, saya selalu kagum pada novelis yang bisa begitu imajinatif dan mengalirkan alur cerita seperti air mengalir.

Terlebih bila alur tersebut unik dan jarang ditemui dalam novel-novel lain. Wah, menyenangkan sekali membacanya.

Sang penulis, mungkin karena kelelahan ^_^, nyaris saja terjebak dalam alur cerita klasik dalam novel percintaan Indonesia. Dimana untuk menumbuhkan simpati dan iba, sang tokoh (Fatih dan Arya) dibuat menderita karena sakit atau kecelakaan berkendara. Alhamdulillahnya, penulis tak menjadikan itu sebagai klimaks atau skenario andalan untuk menyudahi cerita, sehingga romansanya bisa mengalir lagi, dan menjadi menarik lagi.

Secara umum, alur yang digunakan adalah alur tunggal dan sederhana. sehingga pembaca mudah saja mengikutinya. Jelas berbeda dengan novel-novel barat yang gemar memiliki alur kompleks.

Aku, dalam novel ini mengerucut pada Indah. Sementara pada alur kompleks, aku bisa saja mengacu pada semua tokoh. Sudut pandang semuanya berasal dari sudut padang Indah. Tak ada bab khusus yang berganti bercerita dari sudut pandang Arya atau Fatih sebagai tokoh utama lain. Tapi, untuk segmen pembaca remaja, alur tunggal ini menjadi sah-sah saja agar mudah dicerna dan dinikmati.

Kekuatan BahasaJujur, kalimat-kalimat yang ada di novel ini lebih puitis daripada novel-novel sebelumnya yang pernah ditulis. Seperti yang sempat diutarakan penulisnya, ia sempat mengalami stagnasi, tak menemukan kata yang tepat untuk mewakili isi hati.

Tapi, kerja kerasnya mencari kata-kata bijak dan puitis tak sia-sia. Kekuatan bahasa inilah yang menjadi salah satu faktor nilai jual tinggi dari novel ini.

Penulis juga berusaha keras untuk tak berkesan menggurui pembacanya ketika ia menyampaikan nilai-nilai Islam dalam berkehidupan, khususnya ketika bersinggungan soal cinta. Karena itu, ia berusaha agar bahasanya seedrhana, tapi nilai-nilai keluhuranya tetap terasa agar tak menjadi ringan betul. Tana penulis sadari, ia sedang berproses menjadi seorang dai, yaitu menyampaikan kebenaran (yang mungkin rumit) dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna.

Puisi-puisi dalam novel ini, orisinil karya penulisnya. Meski tak terlalu menonjol dalam majas dan rima sebagaimana kekayaan kahsanah sastra Melayu dan sastra Jawa, namun pilihan kata-katanya paling tidak memberikan rasa adem tersendiri. Simak ungkapan rasa Indah berikut,

:"Jika kedekatan denganmu
Justru memudarkan rasa cinta untuk-Nya,Hendaknya aku pergi dan tak lagi merangkai aksara namamu di hatiku.
Aku terus mencari-Nya,
Hidupku telah kupasrahkan,
Aku tak ingin siapapun merenggut rindu utntuk-Nya
Karena hanya tetes-tetes cinta untuk-Nya sajalah yang membuatku masih mampu bertahan.

Untuk kau yang kemarin sudah sangat melukaiku.
Lupakan aku, kembali pada-Nya
Aku bukan siapa-siapa untukmu."

Jadi, simpulannya, ini adalah novel berharga, dan masuk ketegori Must Read. Suatu saat kita harus membedahnya, terutama dihadapan para remaja kita. setidaknya agar mereka belajar 2 hal : menyesapi sastra sekaligus belajar memanajemen cinta.

Salut juga untuk keputusan penulisnya , meletakkan lanatunan Asmaul Husna di awal tulisan. Kupikir itu tak bermakna, ternyata di bagian akhir, saat perpisahan itu terjadi, Asma yang sama dilantunkan lagi, mengiringi kepergian Indah menuntut ilmu ke Madura (Sementara Fatih pulang ke Bandung dan mondok disana). Pesannya sangat jelas, Indah sang remaja itu sedang berusaha untuk mencintai Tuhan-Nya. Ia rela berkorban untuk kecintaannya itu. Hatinya hanya untuk Allah saja. So Sweet...!

Congratulation! wa Barokallahu untuk "Air Mata dalam Kanvas".. te o pe be ge te! Semoga best Seller ya!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan